Dalam ushul fiqh, hukum terbagi menjadi lima macam; wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pada tulisan ini, kita akan memaparkan lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang bentuk-bentuk ungkapan yang mengandung makna wajib dalam nash-nash Al-Quran dan Sunnah. Untuk melihat tulisan sebelumnya kamu bisa mengunjungi di sini
6. Diantara lafaz yang mengandung makna wajib dalam dalil-dalil
syar’I, adalah lafaz “له عليك
فعل كذا”.
Makna kalimat
tersebut secara letterlijk berarti “wajib atasmu untuknya melakukan ini atau
itu”. Apa bila kita menemui dalam nash lafaz yang bentuknya seperti itu maka
lafaz itu mengandung makna wajib pada asalnya,kecuali ada qarinah lain yang
membuat maknanya menjadi selain itu. Contoh nash yang mengandung bentuk lafaz
seperti itu adalah firman Allah :
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
baitullah.” (ali Imran 97).
Ayat di atas
mengandung makna wajib karena bentuk ungapan yang digunakan adalah “له عليك فعل كذا”. Kata lahu menjadi lillahi sedangkan
kata alaika menjadi ala annas.
Makna kata lahu adalah menjadi haknya, sedangkan makna alaika
adalah menjadi kewajibanmu. Kata ganti “dia” dan “kamu” bisa ditukar dengan
kata lain, seperti pada ayat di atas.
contoh lain
nash yang menggunakan bentuk lafaz ini adalah hadis Rasulullah yang dikeluarkan
oleh imam Muslim dari hadis jabir bin Abdullah, rasulullah bersabda :
ولكم
عليهن أن لا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه، فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح
“Menjadi
kewajiban mereka (para istri) terhadapmu untuk tidak memasukkan seseorang yang
tidak engkau senangi kedalam rumahmu. Jika mereka melakukan itu maka pukullah
mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan (sebagai pemberi efek jera, pen.)”
Dalam hadis ini
dijelaskan bahwa seorang istri tidak boleh memasukkan siapa saja yang tidak
disenangi suaminya kedalam rumah mereka, kecuali telah diizinkan olehnya. Lafaz
yang mengandung makna wajib dalam hadis ini adalah "ولكم
عليهن" yang berarti kewajiban atas mereka terhadapmu.
7. Bentuk shiqhah
yang mengandung makna wajib lainnya adalah pemberitaan yang seolah menyatakan
sesuatu benar-benar terjadi.
Fungsi dari
pernyataan berita tersebut menjadi penguat perintah terhadap suatu hal.
Contohnya adalah firman Allah:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“dan orang-orang yang meninggal diantara
kalian yang meninggalkan istri-istri mereka, istri-istri tersebut menunggu
iddah mereka selama empat bulan sepuluh hari”. (albaqarah 234)
Ayat di atas
jika dilihat dari susunan kalimatnya tidak ada lafaz perintah yang menjadikan
sesuatu itu wajib, namun para ahli tafsir dan ulama menjadikan masa iddah empat
bulan sepuluh hari bagi wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai suatu
kewajiban. Hal ini karena berita yang disampaikan tersebut memiliki makna
perintah dari pernyataannya. Dan memang untuk mengetahui status hukum dari
nash-nash seperti ini adalah dengan kembali pada ulama, karena mereka memiliki
kemampuan untuk mengetahuinya.
8. bentuk lafaz
yang mengandung makna wajib lainnya adalah, pernyataan sebuah nash bahwa meninggalkan sesuatu akan mendapatkan
ancaman dan balasan.
Seperti firman Allah :
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ
“dan jika
kalian tidak melakukannya (meninggalkan riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
RasulNya akan memerangimu”.
Ayat di atas
memiliki makna wajibnya meninggalkan riba, karena jika mereka tidak
meninggalkan perbuatan itu mereka akan diperangi oleh Allah dan RasulNya.
Begitu juga sabda Rasulullah dalam shahihain dari hadis jarir bin abdillah dan
abu hurairah:
مَنْ
لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
“Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi.”
Hadis ini
memberikan pengertian akan wajibnya berkasih saying bagi manusia.
9. pensifatan
bagi yang meninggalkan sesuatu sebagai mukhalafah (menyelisihi sunnah)
Bentuk ungkapan
yang mengandung makna wajib lainnya adalah pensifatan orang yang meninggalkan
sesuatu itu sebagai bentuk penyelisihan terhadap kebenaran. Misalnya sabda
Rasulullah dari hadis abu hurairah bahwa beliau bersabda :
وَمَنْ
تَرَكَ الدَعْوَةَ فَقَدْ عَصَى الله وَرَسُوْلَهُ (متفق عليه)
“barang siapa yang meninggalkan undangan
(tidak memenuhinya) berarti ia telah menyelisihi Allah dan Rasulnya”.
Hadis ini
menjelaskan tentang wajibnya menghadiri undangan selama kita tahu bahwa
undangan tersebut bukan pada sesuatu yang maksiat. Dari mana para ulama
menyatakan bahwa menghadiri undangan itu wajib? Adalah dari pensifatan nash
bahwa orang yang meninggalkan undangan tersebut telah menyelisihi Allah dan
Rasulnya, tentunya perbuatan menyelisihi Allah dan RasulNya adalah salah satu
bentuk dosa. Dan kewajiban itu adalah sesuatu yang apabila dikerjakan
mendapatkan pahala dan ditinggalkan mendapat dosa.
10. sesuatu
yang dianggap tidak sah apabila ia ditinggalkan.
Contohnya hadis
Rasulullah dari hadis ubadah bin asshamith, beliau bersabda :
لَا
صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ (متفق عليه)
“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca
al-fatihah” (muttafaq alaihi)
Hadis ini
mengandung makna wajibnya membaca alfatihah dalam shalat, karena Rasulullah
menganggap orang yang tidak membacanya sebagai tidak melaksanakan shalat itu.
Demikian
bentuk-bentuk ungkapan atau lafaz yang ada di dalam nash-nash syar’I yang
memberikan makna wajib. Didalam nash tidak ada menggunakan kata wajaba
untuk menunjukkan akan kewajiban sesuatu. Pada tulisan selanjutnya kita akan
membahas tentang pekerjaan nabi, apakah merupakan pewajiban atau tidak?
Komentar