Langsung ke konten utama

Bentuk Ungkapan Bermakna Wajib dalam Ushul Fiqh (3)


Dalam ushul fiqh, hukum terbagi menjadi lima macam; wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pada tulisan ini, kita akan memaparkan lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang bentuk-bentuk ungkapan yang mengandung makna wajib dalam nash-nash Al-Quran dan Sunnah. Untuk melihat tulisan sebelumnya kamu bisa mengunjungi di sini

6. Diantara lafaz yang mengandung makna wajib dalam dalil-dalil syar’I, adalah lafaz “له عليك فعل كذا”.
Makna kalimat tersebut secara letterlijk berarti “wajib atasmu untuknya melakukan ini atau itu”. Apa bila kita menemui dalam nash lafaz yang bentuknya seperti itu maka lafaz itu mengandung makna wajib pada asalnya,kecuali ada qarinah lain yang membuat maknanya menjadi selain itu. Contoh nash yang mengandung bentuk lafaz seperti itu adalah firman Allah :

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.” (ali Imran 97).
Ayat di atas mengandung makna wajib karena bentuk ungapan yang digunakan adalah “له عليك فعل كذا”. Kata lahu menjadi lillahi sedangkan kata alaika menjadi ala annas.  Makna kata lahu adalah menjadi haknya, sedangkan makna alaika adalah menjadi kewajibanmu. Kata ganti “dia” dan “kamu” bisa ditukar dengan kata lain, seperti pada ayat di atas.
contoh lain nash yang menggunakan bentuk lafaz ini adalah hadis Rasulullah yang dikeluarkan oleh imam Muslim dari hadis jabir bin Abdullah, rasulullah bersabda :

ولكم عليهن أن لا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه، فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح
“Menjadi kewajiban mereka (para istri) terhadapmu untuk tidak memasukkan seseorang yang tidak engkau senangi kedalam rumahmu. Jika mereka melakukan itu maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan (sebagai pemberi efek jera, pen.)”
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa seorang istri tidak boleh memasukkan siapa saja yang tidak disenangi suaminya kedalam rumah mereka, kecuali telah diizinkan olehnya. Lafaz yang mengandung makna wajib dalam hadis ini adalah "ولكم عليهن" yang berarti kewajiban atas mereka terhadapmu.

7. Bentuk shiqhah yang mengandung makna wajib lainnya adalah pemberitaan yang seolah menyatakan sesuatu benar-benar terjadi.
Fungsi dari pernyataan berita tersebut menjadi penguat perintah terhadap suatu hal. Contohnya adalah firman Allah:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“dan orang-orang yang meninggal diantara kalian yang meninggalkan istri-istri mereka, istri-istri tersebut menunggu iddah mereka selama empat bulan sepuluh hari”. (albaqarah 234)
Ayat di atas jika dilihat dari susunan kalimatnya tidak ada lafaz perintah yang menjadikan sesuatu itu wajib, namun para ahli tafsir dan ulama menjadikan masa iddah empat bulan sepuluh hari bagi wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai suatu kewajiban. Hal ini karena berita yang disampaikan tersebut memiliki makna perintah dari pernyataannya. Dan memang untuk mengetahui status hukum dari nash-nash seperti ini adalah dengan kembali pada ulama, karena mereka memiliki kemampuan untuk mengetahuinya.
8. bentuk lafaz yang mengandung makna wajib lainnya adalah, pernyataan sebuah nash  bahwa meninggalkan sesuatu akan mendapatkan ancaman dan balasan.
Seperti firman Allah :
 فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ 
dan jika kalian tidak melakukannya (meninggalkan riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu”.
Ayat di atas memiliki makna wajibnya meninggalkan riba, karena jika mereka tidak meninggalkan perbuatan itu mereka akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Begitu juga sabda Rasulullah dalam shahihain dari hadis jarir bin abdillah dan abu hurairah:
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
“Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi.”
Hadis ini memberikan pengertian akan wajibnya berkasih saying bagi manusia.

9. pensifatan bagi yang meninggalkan sesuatu sebagai mukhalafah (menyelisihi sunnah)
Bentuk ungkapan yang mengandung makna wajib lainnya adalah pensifatan orang yang meninggalkan sesuatu itu sebagai bentuk penyelisihan terhadap kebenaran. Misalnya sabda Rasulullah dari hadis abu hurairah bahwa beliau bersabda :
وَمَنْ تَرَكَ الدَعْوَةَ فَقَدْ عَصَى الله وَرَسُوْلَهُ (متفق عليه)
“barang siapa yang meninggalkan undangan (tidak memenuhinya) berarti ia telah menyelisihi Allah dan Rasulnya”.
Hadis ini menjelaskan tentang wajibnya menghadiri undangan selama kita tahu bahwa undangan tersebut bukan pada sesuatu yang maksiat. Dari mana para ulama menyatakan bahwa menghadiri undangan itu wajib? Adalah dari pensifatan nash bahwa orang yang meninggalkan undangan tersebut telah menyelisihi Allah dan Rasulnya, tentunya perbuatan menyelisihi Allah dan RasulNya adalah salah satu bentuk dosa. Dan kewajiban itu adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan ditinggalkan mendapat dosa.

10. sesuatu yang dianggap tidak sah apabila ia ditinggalkan.
Contohnya hadis Rasulullah dari hadis ubadah bin asshamith, beliau bersabda :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ (متفق عليه)
tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-fatihah” (muttafaq alaihi)
Hadis ini mengandung makna wajibnya membaca alfatihah dalam shalat, karena Rasulullah menganggap orang yang tidak membacanya sebagai tidak melaksanakan shalat itu.
Demikian bentuk-bentuk ungkapan atau lafaz yang ada di dalam nash-nash syar’I yang memberikan makna wajib. Didalam nash tidak ada menggunakan kata wajaba untuk menunjukkan akan kewajiban sesuatu. Pada tulisan selanjutnya kita akan membahas tentang pekerjaan nabi, apakah merupakan pewajiban atau tidak?

Komentar

Postingan Terpopuler

Tsaqafah Islamiah, Pengertian Dan Pemahamannya (1)

Pengertian Tsaqafah Saat Berdiri Sendiri dan Saat Disandarkan Pada Kata Lain Hari ini kata tsaqafah banyak digunakan dalam berbagai bidang dan studi, baik itu berbicara, menulis, ceramah-ceramah maupun seminar-seminar, sehingga tidak jarang kita mendengar orang-orang mengatakan “sifulan orang yang memiliki tsaqafah” dan “sifulan tidak memiliki tsaqafah” dan lain sebagainya. Juga sering kita mendengar orang mengatakan tsaqafah islamiah dan tsaqafah barat, lantas apakah sebenarnya definisi tsaqafah itu?