Langsung ke konten utama

Tsaqafah Islamiah, Pengertian Dan Pemahamannya (1)

Pengertian Tsaqafah Saat Berdiri Sendiri dan Saat Disandarkan Pada Kata Lain
Hari ini kata tsaqafah banyak digunakan dalam berbagai bidang dan studi, baik itu berbicara, menulis, ceramah-ceramah maupun seminar-seminar, sehingga tidak jarang kita mendengar orang-orang mengatakan “sifulan orang yang memiliki tsaqafah” dan “sifulan tidak memiliki tsaqafah” dan lain sebagainya. Juga sering kita mendengar orang mengatakan tsaqafah islamiah dan tsaqafah barat, lantas apakah sebenarnya definisi tsaqafah itu?

Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut, karena kata tsaqafah itu sendiri belum memiliki definisi yang disepakati secara jelas, banyak terdapat silang pengertian dari orang-orang dalam mendefinisikan kata “tsaqafah” itu. Sebagian dari orang-orang menerjemahkan kata tsaqafah ini sebagai wawasan, namun ternyata terjemahan itu sebenarnya belum bisa dikatakan benar 100%. Dalam mencari definisi kata ini banyak mu’tamar internasional telah dilaksanakan, begitu juga kuliah-kuliah umum yang mencoba membicarakan tentang definisi tsaqafah dan apa yang termasuk dalam kata tersebut. UNESCO misalkan, pernah melaksanakan mu’tamar internasional kedua di meksico pada tahun 1982 tepatnya pada tanggal 26 juli hingga 6 agustus dengan mengangkat tema siyasah tsaqafiah. Siasah tsaqafiah ini memiliki arti “sekumpulan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang menjadi motor pengarahan suatu masyarakat dalam urusan-urusan mereka yang bersifat tsaqafah”. Hadir dalam mu’tamar tersebut lebih dari 129 negara yang berdiskusi tentang definisi tsaqafah itu, pada akhirnya semua sepakat bahwa kata ini masih belum jelas apa sesungguhnya definisi yang sesuai untuknya dan maknanya tidak terbatas.
Masih terkait mu’tamar internasional tersebut, selama diskusi berlangsung hingga berakhir didapati beberapa definisi tentang kata tsaqafah, dan semua definisi itu bisa dikelompokkan kedalam dua pandangan yang sangat berlawanan;
Pandangan pertama, mendefinisikan kata tsaqafah dengan makna yang sangat luas sehingga sangat luas pula kajiannya, pendapat pertama ini mendefinisikan kata tsaqafah dari sisi antropologi, yang mencakup semua yang ditambahkan oleh manusia kedalam alam kehidupan mereka, cara berfikir, kebiasaan, seni, pola hidup, bahkan masuk dalam kata ini nilai kemulian manusia.
Pandangan kedua, cenderung lebih sempit hingga ada yang mengatakan “tsaqafah itu artinya tsaqafah”, hingga akhirnya badan pelaksana mu’tamar ini menyeru agar perlu diperdalam kajian dalam masalah ini dan agar didalami pemahaman dari kata tersebut.
Hasil akhir dari uraian di atas bisa kita katakanan; ketidakjelasan definisi kata ini membuat para peneliti dan penulis tidak memiliki batasan arah, masing-masing bisa membawa dan memaknai kata ini kedalam banyak bidang. Walau demikian, terdapat perbedaan antara lafaz tsaqafah yang berdiri tunggal dengan lafaz tsaqafah yang digandengkan dengan kata lain, seperti lafaz tsaqafah islamiyah.
1.      Pengertian Tsaqafah Ketika Berdiri Sendiri
Kata tsaqafah yang berdiri tunggal bisa dimaksudkan dengan “mengambil semua disiplin ilmu namun dalam porsi yang tidak menyeluruh”, maksudnya tsaqafah itu tidak mengkaji secara mendalam satu bidang ilmu secara keseluruhan. Sehingga dikatakan: “pelajarilah paling tidak satu hal dari segala sesuatu agar engkau menjadi orang yang memiliki tsaqafah (wawasan),  dan pelajarilah segala hal yang terdapat dalam satu perkara agar engkau menjadi seorang ahli di bidangnya”.
Jika kita kembalikan lafaz tsaqafah ini kedalam bahasa asalnya yaitu Bahasa Arab, dengan membuka kamus Arab, maka kita akan mendapati antara makna tsaqafah seperti yang dijelaskan di atas dengan makna tsaqafah secara bahasa memiliki keterkaitan dan kecocokan maknanya. Seorang manusia tidak mungkin mampu memiliki wawasan yang luas, memahami banyak disiplin ilmu kecuali jika memiliki kecerdasan dan kemampuan analisis yang baik. Kecerdasan dan kuatnya pemahaman inilah yang menjadi pijakan kata tsaqafah ini dalam bahasa Arab. Jika orang arab mengatakan “tsaqafa asy-syai’ tsaqafan” itu bermakna dia memahami dengan baik sesuatu itu, contoh lain “lelaki yang tsaqafun” artinya cerdas dan mengerti.
Para ulama muslim sejak jauh hari telah menyadari akan pentingnya meletakkan satu ilmu yang mampu memberikan kepada pembacanya cakrawala yang baik pada disiplin ilmu yang bermacam-macam. Ilmu yang mereka letakkan untuk tujuan tersebut adalah “ilmu adab”, yang berkaitan tentang ilmu-ilmu sejarah dan peradabaan, seperti buku adab yang ditulis oleh Al-Qalqashandi, atau buku nihayah al-arbi yang ditulis oleh an-Nuwairi. Jika kita membaca buku-buku tersebut kita akan dapati bahwa buku-buku tersebut memberikan pembacanya ringkasan yang baik dari berbagai bidang keilmuan yang diperlukan oleh mereka yang dinamai “orang yang banyak wawasan”.
Buku ini pada asalnya diletakkan untuk memberikan tambahan wawasan kepada mereka yang bergerak di badan-badan pembuat undang-undang dan peraturan atau yang biasa disebut dengan istilah “diwan al-insya’. Ia merupakan alat yang digunakan oleh para hakim untuk berkomunikasi dengan rakyat, para penguasa maupun elit-elit Negara. Jika seorang pegawai pembuat undang-undang ini tidak dibekali dengan ilmu-ilmu yang mampu meluaskan cakrawala mereka, memperbaiki retorika mereka, menambah wawasan mereka dan memberikan petunjuk kepada mereka tentang ragam tabiat prilaku manusia, maka mereka tidak akan bisa melaksanakan tugas yang diembankan kepada mereka.
Al-Qalqashandi menyebutkan “ketahuilah bahwa seorang pembuat undang-undang, walaupun mereka perlu bergantung kepada banyak disiplin ilmu serta menguasai banyak bidang kajian, maka kebutuhan tersebut tidak sama antara satu dengan yang lainnya”.
Ada dua poin pada pesan yang disebut olehnya, yaitu:
Pertama, setiap pelaksana dan penulis undang-undang seharusnya mempelajari setiap disiplin ilmu paling tidak garis besarnya.
Kedua, kebutuhan masing-masing pemikul amanah tersebut terhadap ilmu-ilmu ini berbeda-beda, tergantung tingkat kebutuhan mereka. Dan salah satu ilmu yang penting dipelajari oleh para penulis dan pembuat undang-undang ini adalah ilmu bahasa.
Pada waktu itu, buku-buku adab menjadi yang paling banyak disoroti oleh pelajar-pelajar muslim yang berwawasan, terlebih mereka yang bercita-cita untuk bisa berada di kursi pembuat dan penulis undang-undang. Selain itu, juga para penuntut ilmu sangat membutuhkan ilmu adab ini guna mensucikan jiwa mereka, dan memberikan nilai yang baik serta membuka alam pikiran mereka. Ibnu Qutaibah menyebutkan di dalam kitabnya uyun al-akhbar, “aku telah mengumpulkan untukmu wahai pembaca dari berbagai berita, agar jiwamu dapat mengambil yang terbaik darinya, dan menilainya dengan pengetahuannya, membersihkan jiwa mereka dari keburukan-keburukan akhlak seperti perak putih yang bersih dari kotoran, memotifasinya untuk mengambil teladan yang baik, pribadi yang tinggi, beradab mulia, berakhlak agung. Jika ia berkata kata-katanya menyentuh pendengarnya, jika ia menulis tulisannya memiliki bahasa yang indah dan mudah.
Para penulis buku-buku adab sering menyamakan buku-buku yang mereka tulis tersebut seperti meja makan yang dipenuhi semua jenis makanan yang lezat dan baik. Mereka mengatakan “buku ini seperti meja makan yang tersaji diatasnya beragam rasa makanan, sesuai dengan selera orang-orang yang berbeda-beda”. Di dalam kamus lisan al-arab, adab dinamakan adab karena ia bisa mengantarkankan manusia ke hal-hal yang terpuji dan mencegah mereka dari segala bentuk keburukan sifat.
Demikian penjelasan penulis buku nahwu tsaqafah al-islamiyah al-ashilah Dr. Umar sulaiman al-asyqar, tentang pengertian tsaqafah yang berdiri sendiri. Adapun pengertian tsaqafah apa bila digandengkan dengan kata lain akan dijelaskan pada tulisan selanjutnya.

Komentar

Postingan Terpopuler

Bentuk Ungkapan Bermakna Wajib dalam Ushul Fiqh (3)

Dalam ushul fiqh, hukum terbagi menjadi lima macam; wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pada tulisan ini, kita akan memaparkan lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang bentuk-bentuk ungkapan yang mengandung makna wajib dalam nash-nash Al-Quran dan Sunnah. Untuk melihat tulisan  sebelumnya kamu bisa mengunjungi  di sini 6. Diantara lafaz yang mengandung makna wajib dalam dalil-dalil syar’I, adalah lafaz “ له عليك فعل كذا ”. Makna kalimat tersebut secara letterlijk berarti “wajib atasmu untuknya melakukan ini atau itu”. Apa bila kita menemui dalam nash lafaz yang bentuknya seperti itu maka lafaz itu mengandung makna wajib pada asalnya,kecuali ada qarinah lain yang membuat maknanya menjadi selain itu. Contoh nash yang mengandung bentuk lafaz seperti itu adalah firman Allah : وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan...