Langsung ke konten utama

MUQADDIMAH BIOGRAFI AL-IMAM






Bismillah.. Segala puji hanya milik Allah,, sholawat dan salam untuk junjungan tercinta Muhammad saw serta para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya dengan benar. Insya Allah mulai postingan ini saya akan mencoba mengangkat permasalahan fikh secara perbab yang saya terjemahkan secara singkat dan sederhana dari kitab Tasynif Al-asma’ Syarh Mukhtashar Abi Syuja’, satu kitab yang membahas fikh syafi’iyah yang disusun oleh syaikh Nayif bin Ali bin Abdillah Al-Qofary. Kitab ini sebagaimana judulnya adalah sebagai penjelas singkat dari matan abi syuja’ (insya Allah pada postingan berikutnya saya akan jelaskan biografi singkat tentang imam Abi Syuja’).

Sebelum saya melanjutkan kepembahasan fikh ada baiknya saya menyebutkan terlebih dahulu biografi imam As-Syafi’i sebagai pelopor utama dalam madzhab syafi’iyah.

        Imam As-Syafi’i bernama Muhammad Bin Idris Bin Al-Abbas Bin Ustman Bin Syafi’ Bin As-Saib Bin Ubaid Bin Abdi Yazid Bin Hasyim Bin Al-Muttholib Bin Abdi Manaf Bin Qushoi Al-Kuraisy Al-Mathlaby.
As-Saib Bin Ubaid masuk Islam pada perang Badar, anaknya Syaafi’ Bin As-Saib merupakan salah satu sahabat muda Rasulullah saw. Adapun ibunya bernama Uzdiyah berasal dari yaman, suatu ketika di saat ia mengandung As-Syafi’i ia bermimpi melihat bintang seakan keluar dari dirinya dan bergerak terus hingga berakhir di Mesir, dan tidak ada satu negeripun kecuali cahayanya sampai kesana.
Beliau dilahirkan pada tahun 150 H dan ketika ayahnya meninggal ia masih kecil, kemudian pada usia 2 tahun ibunya membawanya ke Makkah dengan harapan agar nasabnya tidak hilang. Mulai hari itu beliau tumbuh dan berkembang di sana sampai menganjak remaja. Beliau  menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia 7 tahun, juga telah hafal kitab Muwatho’ karya imam Malik pada usia 10 tahun dan pada usia 15 tahun atau 18 tahun beliau telah diizinkan untuk menjadi mufti oleh gurunya Muslim Bin Kholid Az-Zanji.
Imam As-Syafi’i pada masa mudanya juga sangat memperhatikan bahasa dan syair, beliau pernah tinggal di daerah bernama Huzail sekitar 10 tahun (di riwayat yang lain 20 tahun), ia belajar disana bahasa arab yang fasih (fusha). Selain itu beliau juga telah mendengarkan banyak hadits dari sejumlah ulama dan membacakan Muwatho’ langsung dari hafalannya di hadapan imam Malik sehingga imam Malik merasa sangat takjub dengan kuatnya hafalan beliau dan tingginya tekat beliau.
Adapun guru-guru beliau di antaranya: imam Malik Bin Anas, Muslim Bin Kholid Az-Zanji, membaca Al-qur’an di hadapan Ismail Bin Qistintin, Muhammad Bin Al-Hasan As-Syaibi salah seorang sahabat dekat imam Abu Hanifah.
Murid-murid beliau antara lain: Abu Ali Al-Hasan As-Shobbah Az-Za’faroni, Harmalah Bin Yahya, Abu Ya’kub Yusuf Bin Yahya Al-Buwaithi, Abu Ibrahim Isma’il Bin Yahya Al-Mazani, dan juga Ar-Rabi’ Bin Sulaiman Al-Murady.
Tidak sedikit dari ulama-ulama besar yang telah memuji imam As-Syafi’i di antaranya imam Abdurrahman bin Mahdi, suatu ketika beliau memintanya untuk menulis sebuah kitab tentang usul fikih maka beliaupun menulis kitab yang diberi judul Ar-Risalah. Setelah itu beliaupun mendo’akan imam As-Syafi’i dan gurunya Malik Bin Anas pada setiap sholatnya.
Kutaibah Bin Said berkata tentang imam As-Syafi’i: “ dia adalah seorang imam”.
Begitu pula Sufyan Bin Uyainah dan Yahya Bin Said Al-Kotthon  senantiasa mendo’kannya pada setiap sholat mereka.
Abu Ubaid juga berkata: "ما رأيت أفصح ولا أعقل ولا أورع من الشافعي"
“aku tidak pernah melihat orang yang lebih fasih, lebih cerdas dan lebih wara’ dari pada As-syafi’i”.
         Sebagaimana imam Ahmad bin Hanbal juga selalu mendo’akan beliau pada setiap sholatnya sekitar 40 tahun, beliau berkata saat mengomentari sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Abdullah Bin Wahb dari Sa’ad Bin Said Bin Abi Ayyub dari Syarahil Bin Yazid dari Abi Alkomah dari Abi Hurairah dari Rosulullah Saw beliau bersabda:
إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مئة سنة من يجدد لها أمر دينها
“sesungguhnya Allah mengutus pada setiap seratus tahun untuk umat ini seorang yang akan memperbaharui (menghidupkan) lagi urusan agama ini”, maka beliau (imam Ahmad) berkata: “umar bin abdul azis adalah mujaddid pada seratus tahun pertama dan as-syafi’i mujaddid pada seratus tahun kedua”.
Yahya Bin Main berkata tentangnya: “ kalaulah sekiranya berdusta itu diperbolehkan secara mutlak sungguh wibawanya sendiri mencegahnya untuk berdusta”.
                Beliau merupakan seorang yang sangat mengagungkan sunnah Rasulullah dan mengikuti dalil dari keduanya, telah dinukilkan dari banyak orang bahwa beliau berkata:
لو صح عندكم الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا به ودعوا قولي، فإني أقول به وإن لم تسمعوا مني، وفي رواية فلا تقلدوني..
“Apabila telah shohih sebuah hadits dari rosulullah saw maka berhujahlah dengannya dan tinggalkanlah ucapanku, karena aku berhujjah dengan hadits itu, walaupun kalian tidak mendengarkannya dariku”, dalam riwayat yang lain beliau berkata: “jangan kalian taklid kepadaku”
Suatu hari seorang lelaki berkata kepadanya: “wahai abu abdillah,, apakah kami perlu mengambil hadits ini?” maka beliau pun berkata: “apabila diriwayatkan satu hadits yang shohih dari Rasulullah saw namun aku tidak mengambilnya maka saksikanlah bahwa akalku telah hilang”
Pada waktu yang lain imam as-syafi’i meriwayatkan satu hadits , tiba-tiba datang seorang seraya berkata kepadanya: “apakah engkau akan berhujjah dengan hadits ini?” maka beliaupun menjawab: “apakah engkau melihatku sedang keluar dari geraja atau sedang memakai tali pinggang (sesuatu yang menjadi kekhususan para pendeta ketika itu, red)? Sehingga apabila aku mendengar hadits yang shohih dari Rasulullah saw aku meninggalkannya dan tidak menjadikannya hujjah?!!”.
Al-buwaithi berkata: “aku mendengar as-syafi’i berkata; kalian harus mengikuti ahli hadits karena mereka orang yang paling banyak memegang kebenaran”. Lalu beliau berujar: “jika aku melihat seorang ahli hadits, seolah aku sedang melihat salah seorang sahabat Rasulullah saw, semoga Allah membalas kebaikan kepada mereka. Mereka telah menjaga sumber ilmu untuk kita dan kewajiban kitalah memuliakan mereka”.
Diantara bunyi syair yang beliau gubah tentang ilmu adalah:
كل العلوم سوى القرآن مشغلة إلا الحديث  وإلا الفقه في الدين
العلم ما كان فيه حدثنا وما سوى ذاك وسواس الشياطين
"semua ilmu selain Al-Qur’an menyibukkan kecuali Hadits dan fikih di dalam Agama,

Ilmu itu adalah sesuatu yang berdasar “telah menyebutkan kepadaku” adapun yang selain itu hanya was-was dari syaitan”.
Beliau sangat benci dengan ilmu filsafat (kalam) dan ahlinya, sehingga beliau berkata: “kalaulah sekiranya Allah menimpakan semua dosa kepada seorang hamba selain syirik maka itu lebih baik baginya daripada ia dijatuhkan pada ilmu kalam”.
Beliau juga berkata: “seandainya manusia mengetahui apa yang ada pada ilmu kalam, sudah pasti mereka akan lari darinya seperti mereka lari dari singa”, begitu juga ucapan beliau: “hukumku untuk ahli kalam adalah hendaknya mereka dipukul dengan pelepah kurma, dan kemudian dibawa keliling kampung dan diteriaki: ‘inilah ganjaran bagi orang yang meninggalkan Al-qur’an dan sunnah serta lebih condong ke ilmu kalam!!”.
Disisi lain beliau terkenal sebagai ahli ibadah, beliau membagi malamnya menjadi tiga bagian, sepertiga pertama beliau menulis, sepertiga kedua sholat dan sepertiga lainnya beliau tidur. Beliau juga sangat banyak mengkhatamkan bacaan Al-qur’an.

Beliau wafat di Mesir pada hari kamis di akhir bulan rajab tahun 204 H dengan usia 54 tahun..
Semoga Allah merahmati beliau dan meluaskan kuburan beliau dan mengumpulnya dan kita semua di surga firdaus kelak bersama para nabi dan orang-orang sholeh..

Komentar

Postingan Terpopuler

Tsaqafah Islamiah, Pengertian Dan Pemahamannya (1)

Pengertian Tsaqafah Saat Berdiri Sendiri dan Saat Disandarkan Pada Kata Lain Hari ini kata tsaqafah banyak digunakan dalam berbagai bidang dan studi, baik itu berbicara, menulis, ceramah-ceramah maupun seminar-seminar, sehingga tidak jarang kita mendengar orang-orang mengatakan “sifulan orang yang memiliki tsaqafah” dan “sifulan tidak memiliki tsaqafah” dan lain sebagainya. Juga sering kita mendengar orang mengatakan tsaqafah islamiah dan tsaqafah barat, lantas apakah sebenarnya definisi tsaqafah itu?

Bentuk Ungkapan Bermakna Wajib dalam Ushul Fiqh (3)

Dalam ushul fiqh, hukum terbagi menjadi lima macam; wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pada tulisan ini, kita akan memaparkan lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang bentuk-bentuk ungkapan yang mengandung makna wajib dalam nash-nash Al-Quran dan Sunnah. Untuk melihat tulisan  sebelumnya kamu bisa mengunjungi  di sini 6. Diantara lafaz yang mengandung makna wajib dalam dalil-dalil syar’I, adalah lafaz “ له عليك فعل كذا ”. Makna kalimat tersebut secara letterlijk berarti “wajib atasmu untuknya melakukan ini atau itu”. Apa bila kita menemui dalam nash lafaz yang bentuknya seperti itu maka lafaz itu mengandung makna wajib pada asalnya,kecuali ada qarinah lain yang membuat maknanya menjadi selain itu. Contoh nash yang mengandung bentuk lafaz seperti itu adalah firman Allah : وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan...