
Penulis -semoga Allah merahmatinya- memulai pembahasan ini melalui bab bersuci karena bersuci merupakan salah satu syarat sahnya sholat dan sholat merupakan rukun Islam yang kedua setelah syahadatain ( dua kalimat syahadat). Sholat juga merupakan pembeda antara seorang muslim dan kafir, sebagai tiang keislaman serta perkara pertama yang akan dihitung dari seseorang di hari kiamat kelak, jika ia baik dan diterima maka seluruh amalan akan diterima sebaliknya bila ia tertolak maka tertolak pula seluruh amalan yang lain.
Rasululla Saw
bersabda:
مفتاح الصلاة الطهور رواه أبو داود
“Kunci Sholat itu
adalah bersuci” H.R Abu Daud
Secara
sederhana pengertian at-thaharah adalah suci dri kotoran dan najis sebagaimana
yang dikatakan oleh Al-Payumi.
Pembagian air
Sebagai mana
sudah kita ketahui bersama bahwa bersuci sangat berkaitan erat dengan air karena
air adalah sarana utama bersuci maka merupakan perkara yang baik jika kita
membahas terlebih dahulu jenis-jenis air. Jenis air yang bisa digunakan untuk
bersuci ada tujuh macam:
1.
Air hujan, sebagaimana
firman Allah
ونزلنا
من السماء ماء طهورا
“Dan telah kami
turunkan dari langit air yang suci”
2.
Air laut, dalil yang
menyebutkan tentang kebolehan bersuci dengan air laut adalah sabda rasulullah
saw:
هو الطهور ماؤه الحل ميتته
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”.
3.
Air sungai
4. Air sumur, mengenai sumur
zam-zam maka para ulama berselisih pendapat tentang bersuci dengan sumur
tersebut. Al-imam al-Baijuuri berkata: “pendapat yang bisa dipegang (kuat)
dalam masalah ini adalah bahwa (air zam-zam) itu tidak dimakruhkan untuk
bersuci atau boleh digunakan untuk bersuci karena nash-nash yang menyebutkan
tentang air bersifat umum sehingga itu berarti mencakup air zam-zam dan
lainnya. Adapun kemuliaannya maka hal itu tidak menyebabkan ia menjadi makruh
untuk digunakan”.
5.
Air yang berasal dari mata
air, baik yang keluar dari celah daratan maupun dari celah bukit dan gunung.
6.
Air es/ salju
7.
Air Embun.
Al-imam al-Izz menyebutkan di dalam
penjelasannya bahwa ketujuh jenis air ini dapat disimpulkan dalam satu kalimat
yaitu:
ما نزل من السماء أو نبع من
الأرض على أي صفة كانت من أصل الخلقة
"semua yang turun dari langit atau yang keluar dari
bumi bersifat apapun sesuai dengan penciptaannya maka itu bisa digunakan untuk
bersuci”
Sementara itu
air yang ada dimuka bumi ini dari sisi kelayakannya untuk bersuci terbagi
menjadi 4 bagian:
1. air yang suci lagi mensucikan dan boleh digunakan untk bersuci (طاهر
في نفسه مطهر لغيره غير مكروه استعماله),
air tersebut adalah air yang mutlak, tidak disandarkan kepada sesuatu yang
lain, seperti; air bunga, air semangka atau air kelapa. 2. Air yang suci lagi mensucikan namun makruh digunakan (طاهر في نفسه مطهر لغيره مكروه استماله) dinamakan juga air Musyammas yaitu air yang panas/ hangat karena sinar Matahari. Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang Aisyah r.a menggunakan air Musyammas, beliau bersabda:
إنه
يورث البرص
“sesungguhnya air seperti itu
menyebabkan penyakit kusta”
Namun al-imam
An-Nawawi memandang bolehnya (tidak makruh) menggunakan air Musyammas,
dan ini adalah pendapat yang lebih kuat. Adapun riwayat di atas tentang
pelarangan menggunakan air Musyammas adalah riwayat yang tidak kuat
(karena ia dinukilkan dengan ungkapan “diriwayatkan”)
3. Air yang suci namun tidak bisa mensucikan (طاهر في نفسه غير مطهر لغيره) dalam masalah ini
ada dua jenis air.
Yang
pertama adalah air Musta’mal yaitu air yang telah digunakan, misalnya air
yang digunakan untuk bersuci dari najis, dll. Berdasarkan mazhab syafi’iyah
maka air tersebut tidak bisa digunakan untuk bersuci lagi, karena ia telah
digunakan untuk beribadah sehingga tidak boleh digunakan lagi untuk ibadah
serupa.
Namun
pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bolehnya bersuci dengan air Musta’mal,
sebagaimana telah diriwayatkan oleh Jabir r.a beliau berkata: “Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam mendatangiku ketika aku sedang sakit, kemudian beliau berwudhu
dan menyiramkan bekas wudhunya kepadaku (untuk berwudhu)”. Dan juga secara asal
adalah tetapnya suci suatu zat, ia tidak berubah kecuali dengan dalil
yang kuat. Selain itu air yang digunakan tersebut hanya menyentuh anggota yang
suci sehingga itu tidak mengubahnya menjadi tidak suci.
Yang
kedua, air yang berubah salah satu sifatnya dikarenakan bercampur dengan zat
yang suci baik itu warnanya, rasanya
maupun baunya. Perubahan tersebut mengubah kedudukan air tersebut dari air
mutlak menjadi air yang disandarkan pada zat lain, seperti air yang tercampur
dengan sabun yang banyak sehingga nama air tersebut berubah menjadi air sabun,
atau air yang dicampur dengan teh dll.
Dalam
masalah ini penulis (Al-Imam Abu Syuja’) mengecualikan dengan ucapannya “bercampur
dengan zat yang suci” dua perkara;
- Air suci bercampur dengan zat lain yang mungkin untuk dipisahkan, seperti minyak, lemak dll. Maka percampuran ini tidak berpengaruh terhadap kesucian air dan kemutlakannya.
- Air yang sulit untuk dijaga dari percampurannya dengan zat lain, seperti air sumur yang bercampur dengan dedaunan, tanah, lumut atau akar kayu maka air tersebut tetap suci lagi mensucikan.
1. Air yang tidak mencapai dua kullah terkena najis baik berubah sifatnya maupun tidak, (Dua kullah yaitu sekitar 193 liter atau sekitar 204 kg menurut pendapat yang paling benar)
2. Air yang mencapai dua kullah atau lebih yang terkena najis.
Air yang tidak sampai dua kullah apabila bercampur dengan najis maka ia
menjadi najis baik berubah warnanya ataupun tidak, sedangkan jika air tersebut
diatas dua kullah maka jika salah satu sifatnya berubah maka ia menjadi najis
sedangkan bila tidak berubah ia tetap suci. Dalil dari pendapat ini adalah
mafhum mukhalafah dari ucapan Rasulullah Saw;
إذا
بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث، رواه
أبو داود وصححه ابن حبان
“apabila air itu mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung najis”
Pendapat di atas berdasarkan mazhab syafi’iyah, sedangkan yang
dikuatkan (tarjih) dari sebagian ulama dan para pentahqiq adalah bahwa air
tidak menjadi najis kecuali apabila berubah warnanya, baunya atau rasanya. Baik
itu mencapai dua kullah ataupun tidak. Mereka berhujjah dengan hadits Abu Sa’id
al-Hudri r.a yang menyebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah pernah ditanya;
“apakah kita berwudhu dengan air sumur bidho’ah?” bidho’ah adalah sumur yang
dilemparkan padanya kotoran atau bangkai, maka Rasulullah bersabda:
الماء طهور لا ينجسه شيء
“air itu suci tidak ada sesuatupun yang bisa menjadikannya najis”.
Mereka para pentahqiq diatas mengatakan bahwa ucapan nabi tersebut umum
pada banyak maupun sedikitnya air, serta umum untuk semua bentuk najis.
Kemudian mereka juga menyebutkan bahwa sebuah hadits memiliki manthuq
(teks) dan mafhum (konteks). Manthuq hadits “kalau mencapai dua kullah maka
tidak najis” tidak secara umum, karena dikecualikan dari hal itu air yang
berubah sifatnya karena najis maka ia menjadi najis secara ijma/ kesepakatan
ulama walaupun ia lebih dari dua kullah.
Sedangkan mafhum hadits tersebut bahwa air yang kurang dari dua kullah
menjadi najis tidak bisa diterima, alasannya karena mantuq hadits lain “sesungguhnya
air itu suci dan tidak ada yang bisa menjadikannya najis” lebih diutamakan. Karena
kaidah mengatakan:
إذا
تعارض المنطوق مع المفهوم قدم المنطوق
“apabila bertentangan antara lafaz dan makna yang dipahami, maka
yang diutamakan adalah lafaznya” berdasarkan kaidah ini maka air tidaklah
menjadi najis kecuali bila berubah salah satu sifatnya.
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah bahwa penulis (Al-Imam Abu
Syuja’) berpendapat bahwa air itu terbagi menjadi empat kelompok, sedangkan
para pentahqiq berpendapat bahwa air itu hanya terbagi menjadi dua macam:
- طاهر مطهر suci lagi mensucikan
- نجس منجس najis lagi menajiskan
Adapun pembeda
antara keduanya adalah perubahan pada salah satu sifat air yang disebabkan
najis atau kotoran yang mengenainya. Semua air yang berubah warnanya, baunya
maupun rasanya karena najis maka ia menjadi najis baik ia banyak atau sedikit.
Demikian pembahasan
tentang bersuci bagian pertama mudah-mudahan bisa memberikan manfaat kepada
setiap orang yang membaca tulisan ini terutama ana sendiri selaku penerjemah
pembahasan. Ana juga mohon maaf bila ada kesalahan dalam menerjemahkan makna
yang dimaksud penulis. Sebagai saran, ada baik juga bagi pembaca yang berminat
hendaknya kembali ke kitab aslinya Tasyniifl Asma’ Syarh Mukhtashor Abi
Syuja’. Wallahu ‘alam bishowab, syukran
Salam ukhwah!! :)
Komentar