Dalam ilmu ushul fiqh, hukum taklifi dibagi kedalam 5 macam, yaitu : Wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Dalam tulisan sebelum ini kita telah masuk kedalam penjelasan hukum wajib, pengetiannya baik secara bahasa maupun istilah. Kita juga telah menjelaskan sedikit tentang bentuk ungkapan yang mengandung makna wajib dalam nash-nash Al-Quran maupun Sunnah.
Pada tulisan kali ini, kita akan menjelaskan lebih lanjut bentuk-bentuk ungkapan yang mengandung makna wajib di dalam nash-nash syar’i.
1. Bentuk ungkapan dengan fi’il amr dan yang bermakna amr (perintah)
Diantara bentuk kata perintah yang terdapat dalam nash-nash syar’i adalah bentuk perintah dengan menggunakan isim fi’il amr. Isim fi’il amr adalah bentuk perintah yang tidak menggunakan fi’il namun memiliki makna perintah. Isim fi’il amr yang sering digunakan adalah “عَلَيْكُمْ”, yang memiliki makna perintah dalam bahasa Arab. Contohnya firman Allah yang menggunakan lafadz ini adalah :
يَا أَيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
“ Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.”
Bentuk perintah dalam ayat ini menggunakan isim fi’il amr yaitu, “عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ”, yang bermakna perintah Allah kepada orang-orang beriman agar menjaga dirinya, dan perintah ini secara asal bermakna wajib.
2. Bentuk perintah lain yang bermakna wajib adalah mashdar
yaitu masdhar yang menggantikan pekerjaan fi’il amr. Dalam bahasa Arab, masdhar terkadang digunakan untuk makna perintah. Sebagai contoh, firman Allah Subhanahu wata’ala:
فَإِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِقَاب (محمد : 4)
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka.”.
Bentuk perintah dalam ayat ini menggunakan masdhar yaitu kalimat “فَضَرْبَ الرِقَاب”, yang berarti penggallah tengkuknya.
Dan untuk penjelasan kaidah-kaidah pengambilan dalil dari nash yang berbentuk perintah ini akan kita bahas pada bab perintah secara khusus.
3. Bentuk ungkapan yang biasa juga bermakna wajib adalah shighah “أََمَرَ”atau yang terpecah dari kata tersebut
Didalam bahasa Arab satu kata bisa memiliki banyak bentuknya, baik itu madhi, mudhari, amr, fail, dll. kata tersebut yaitu amara memiliki arti “memerintahkan” yang dihukumi secara asal oleh para ahli ushul sebagai makna wajib. Contohnya firman Allah subhanahu wa’tala:
إِنَّ الله يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ والْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِيْ القُرْبَى (النحل : 90)
“sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat baik serta memberi sedekah kepada orang-orang yang dekat”.
Kata “يَأْمُرُكُمْ” dalam firman Allah tersebut berarti memerintahkan yang menurut ahli ushul perintah tersebut bermakna wajib.
Juga misalnya firman Allah:
إِنَّ الله يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا (النساء : 58)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,”
Dalam ayat ini kata يَأْمُرُكُمْ(memerintahkan) berarti wajibnya menunaikan amanah kepada Ahlinya.
4. Bentuk keempat dari shighah wajib dalam nash-nash syar’i adalah kata كَتَبَ dan semua kata yang terpecah dari kata tersebut.
Misalnya firman Allah:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ
“telah ditetapkan bagi kalian perang walaupun itu adalah hal yang kalian tidak senangi”. (al-baqarah 216)
Kata kutiba (ditetapkan) dalam ayat ini menurut para ushul mengandung makna wajib karena sesuatu yang telah ditetapkan oleh pembuat syariat pada asalnya adalah wajib hingga ada keterangan lain yang memalingkan makna tersebut.
Contoh lain yang menggunakan shighah ini adalah sabda Rasulullah:
إِنَّ الله كَتَبَ الِاحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا القِتْلَةَ، فَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ (أخرجه مسلم من حديث شداد بن أوس)
“sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan untuk segala hal, maka apabila kalian membunuh maka berbuat baiklah dalam pembunuhan itu, dan jika kalian menyembelih berbuat baiklah dalam menyembelih, dan hendaklah setiap kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya”
Dalam hadis ini makna wajib disampaikan dengan shighah kataba, yang berarti telah menetapkan. Sehingga dipahami ketetapan yang dibuat itu bersifat wajib, yaitu berbuat baik dalam setiap tindakan walau dalam hal membunuh dengan haknya atau menyembelih.
5. Shighah فَََرَضَ atau kata lain yang terpecah dari kata tersebut.
Apabila dalam sebuah nash kita dapati kata ini maka biasanya hal yang dibicarakan dalam nash tersebut bersifat wajib sampai ada keterangan lain yang memalingkannya.
Contoh penggunaan bentuk kata ini adalah firman Allah :
سُوْرَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَّضْنَاهَا (النور : 1)
“sebuah surat yang telah kami turunkan dan kami fardhukan kepada kalian pengamalannya”.
Dalam ayat tersebut perintah wajib menggunakan bentuk kata فَرَّضْنَا yang berarti kami wajibkan, yaitu mengamalkan kandungan surat yang telah diturunkanNya.
Demikian pembahasan tentang bentuk-bentuk ungkapan yang bermakna wajib dalam nash-nash syar’i. Masih banyak bentuk ungkapan lain yang juga bermakna wajib, untuk membaca kelanjutannya bisa dilihat di Bentuk ungkapan yang bermakna wajib dalam ushul fiqh (bagian 3)
disarikan dari kitab taisir ilmi ushul fiqh, Abdullah bin Yusuf al-Judai'
disarikan dari kitab taisir ilmi ushul fiqh, Abdullah bin Yusuf al-Judai'
Komentar