Langsung ke konten utama

Lupa dalam Pandangan Islam


Lupa dalam Bahasa Arab biasa disebut “
nisyan”. Ada yang mengatakan penamaan insan juga diambil dari kata tersebut. Lupa adalah sifat tabi’I manusia, tidak ada seorangpun yang tidak pernah lupa, bahkan nabi sekalipun. Tentang lupa ini Allah berfirman:

 وَلَقَدْ عَهِدْنَا إِلَى آدَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا

Dan kami telah memerintahkan kepada Adam dahulu dan dia lupa (terhadap perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat” ( thaha ayat 115).

Ayat ini menggambarkan kepada kita bahwa Adam alaihi assalam yang merupakan manusia pertama pernah tertimpa sifat lupa ini.
Lupa itu sendiri bukanlah suatu yang berbahaya pada dasarnya, namun ia merupakan suatu bentuk kekurangan manusia yang Allah ciptakan. Akan menjadi masalah adalah apabila seseorang menjadi seorang yang banyak lupanya. Ia akan sulit menjalani kehidupan ini, bahkan sampai pada tingkat urusan-urusan yang penting bisa terlupakan olehnya. Dalam syariat kita, lupa tidak mendapatkan beban taklifi, ketika seseorang lupa melakukan perintah syar’I atau lupa sehingga ia melakukan sesuatu yang dilarang, maka ia tidak mendapatkan dosa. Sebagaimana disebutkan oleh rasulullah :

إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَلَى أُمَّتِي الخَطَأَ والنِّسْيَانَ وَمَا اُسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (رواه ابن ماجه وحسنه الألباني)

Sesungguhnya Allah menghapus dari umatku dosa ketika mereka keliru, lupa dan dipaksa

Namun, pada beberapa perintah yang wajib, lupa tidak menghilangkan kewajiban untuk melakukan perintah tersebut. Seperti orang yang lupa sholat fardhu, maka ia tetap diwajibkan melaksanakannya pada saat ia teringat walaupun telah melewati beberapa shalat fardhu lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah :

مَن نسِيَ صلاةً، فلْيُصلِّها إذا ذكرَها، لا كَفَّارة لها إلا ذلك( رواه البخاري 597 ومسلم 684)

barang siapa yang lupa melaksanakan sholat maka hendaklah ia mengerjakannya ketika telah ingat, tidak ada kafarah karena lupa itu kecuali melaksanakannya kembali

Lupa tersebut tidak dicatat sebagai dosa, namun ia tetap harus melaksanakan perintah itu ketika telah ingat. Sebaliknya lupa pada suatu larangan, selama tidak berkaitan dengan hak-hak orang lain maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Adapun apabila lupa itu menyebabkan rusaknya harta orang lain, atau terbunuhnya jiwa orang lain, maka ia tetap akan mengganti kerugian tersebut. Sama seperti kasus pembunuh yang tidak sengaja (dengan menggunakan sesuatu yang secara umum tidak mematikan), maka ia tidak diqishash namun memiliki kewajiban untuk membayar fidyah kepada ahli waris yang terbunuh. Pelakunya tidak mendapatkan dosa karena ia tidak sengaja, akibat lupa ataupun salah namun, memiliki kewajiban untuk membayar fidyah.
Di sisi lain lupa juga pada hakikatnya memiliki hikmah yang besar bagi manusia. Bayangkan, jika manusia tidak memiliki sifat lupa, berapa banyak kesedihan yang tidak hilang, berapa banyak kesalahan yang bisa menjadi momok berkepanjangan baginya, dan banyak lagi ketidak seimbangan dalam kehidupan ini. Allah subhanahu wata’ala menjadikan lupa sebagai suatu kekurangan yang memiliki hikmah menjaga manusia itu sendiri dari kejadian di atas.
Dalam al-Quran dan hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam banyak disinggung tentang lupa ini, di antaranya firman Allah :

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Allah tidak membebani satu jiwapun kecuali apa yang ia sanggupi, baginya apa yang ia kerjakan dan atasnya apa yang ia kerjakan, wahai tuhan kami, janganlah engkau siksa kami terhadap apa yang kami lupa dan keliru” (Albaqarah 286)
Ayat ini memberikan penjelasan bahwa Allah tidak akan menyiksa hambanya atas sebuah tindakan yang mereka lakukan dengan keadaan lupa dan juga keliru tanpa disengaja. Ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hambanya, serta bentuk keadilan Allah terhadapnya. Namun, lupa yang dialami manusia berbeda-beda keadaan dan tingkat keparahannya. Lupa yang normal adalah seperti yang kita jelaskan diatas, selain itu ada lagi bentuk lupa yang keluar dari katagori normal, di mana orang yang terkena penyakit ini menjadi seorang yang banyak lupa dan sering lupa pada banyak hal.
Banyak faktor yang menjadikan seseorang terkena penyakit lupa ini, baik itu faktor fisik, usia, penyakit, dan juga factor lemahnya iman. Dalam pandangan islam, maksiat merupakan salah satu penyebab seseorang menjadi pelupa. Seorang yang menghafal Al-Quran akan terganggu hafalannya karena dosa yang ia lakukan, dosa ini menjadi seperti virus yang bisa menggerogoti hafalan Al-Quran seseorang. Semakin ia tenggelam dalam dosa, maka semakin besar kemungkinan ia menjadi lupa terhadap Al-Quran yang dihafalnya. Begitu pula dalam menuntut ilmu, orang yang banyak melakukan dosa biasa akan mengalami kesulitan untuk mengingat ilmu yang ia pelajari. Hal ini karena ilmu itu bagaikan cahaya Allah dan tidak akan diberikan kepada orang yang banyak melakukan dosa. Hal inilah yang pernah dikeluhkan oleh imam As-Syafi’I kepada gurunya imam Malik, beliau berkata :

شكوت إلى وقيع عن سوء حفظي فأرشدني على ترك المعاصي، فإن العلم نور ونور الله لا يهدي للعاصي     
             
aku pernah mengeluh kepada waqi’ ( imam malik ) tentang buruknya hafalanku, beliau mengingatkan agar akau meninggalkan maksiat. Karena ilmu itu adalah cahaya Allah, dan cahaya itu tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat kepadaNya
Faktor keimanan ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kekuatan hafalan dan mengurangi lupa. Karena hati yang penuh dengan keimanan akan mendatangkan ketenangan jiwa, jika jiwa telah menjadi tenang maka banyak hal akan menjadi mudah untuk diingat. Terlebih lagi bahwa keimanan ini akan mendatangkan berkah pada setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang hamba.
Adapun faktor-faktor yang bersifat hissi ( factor fisik), maka itu adalah sesuatu yang terkadang di luar kuasa kita, seperti tuanya usia atau penyakit yang diderita. Sehingga orang yang lupa karena factor ini adalah sesuatu yang wajar saja. Namun demikian, factor usia terkadang tidak terlalu memberikan pengaruh kepada orang yang memiliki iman yang kuat, banyak beribadah dan menjaga diri dari maksiat. Ini dapat kita lihat dari para ulama kita, dimana usia seakan tidak menjadikannya lemah, tidak membuatnya menjadi pikun. Semua itu adalah berkah keimanan dan amal shaleh yang pernah mereka lakukan.
Hal ini misalnya bisa kita lihat pada biografi imam abu syuja’ yang menulis matan abi syuja dalam fiqh syafi’i. beliau disebutkan merupakan salah satu ulama yang memiliki usia yang panjang. Beliau wafat pada usia 160 tahun. Beliau terkenal sebagai orang yang zuhud dan dermawan, menjaga dirinya dari maksiat di masa muda. Dan Allah kemudian menjaga dirinya dari kepikunan dan kelupaan pada usia senjanya. Pada usia 160 tahun itu beliau tidak pernah mengalami pikun sebagaimana banyak menimpa orang-orang tua, kecerdasan beliau tetap terjaga. Ketika beliau ditanya tentang hal itu beliau menjawab
aku selalu menjaga anggota tubuhku dari bermaksiat kepada Allah di waktu usia muda, maka Allahpun menjaga diriku di usia tua”.

Wallahu a’lam  

Komentar

Postingan Terpopuler

Tsaqafah Islamiah, Pengertian Dan Pemahamannya (1)

Pengertian Tsaqafah Saat Berdiri Sendiri dan Saat Disandarkan Pada Kata Lain Hari ini kata tsaqafah banyak digunakan dalam berbagai bidang dan studi, baik itu berbicara, menulis, ceramah-ceramah maupun seminar-seminar, sehingga tidak jarang kita mendengar orang-orang mengatakan “sifulan orang yang memiliki tsaqafah” dan “sifulan tidak memiliki tsaqafah” dan lain sebagainya. Juga sering kita mendengar orang mengatakan tsaqafah islamiah dan tsaqafah barat, lantas apakah sebenarnya definisi tsaqafah itu?

Bentuk Ungkapan Bermakna Wajib dalam Ushul Fiqh (3)

Dalam ushul fiqh, hukum terbagi menjadi lima macam; wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pada tulisan ini, kita akan memaparkan lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang bentuk-bentuk ungkapan yang mengandung makna wajib dalam nash-nash Al-Quran dan Sunnah. Untuk melihat tulisan  sebelumnya kamu bisa mengunjungi  di sini 6. Diantara lafaz yang mengandung makna wajib dalam dalil-dalil syar’I, adalah lafaz “ له عليك فعل كذا ”. Makna kalimat tersebut secara letterlijk berarti “wajib atasmu untuknya melakukan ini atau itu”. Apa bila kita menemui dalam nash lafaz yang bentuknya seperti itu maka lafaz itu mengandung makna wajib pada asalnya,kecuali ada qarinah lain yang membuat maknanya menjadi selain itu. Contoh nash yang mengandung bentuk lafaz seperti itu adalah firman Allah : وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan...