Langsung ke konten utama

Ushul Fiqh (4) : Apakah Semua Perbuatan Nabi Wajib diikuti?




Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan tentang lafaz-lafaz dan ungkapan ungkapan yang mengandung makna wajib. Jika anda ingin melihatnya kembali bisa klik di SINI. Pada tulisan kali ini kita akan menjelaskan beberapa pekara yang masih berkaitan dengan hukum yang wajib dalam tinjauan ushul fiqh. Berikut penjelasannya:


1. Apakah Semua Perbuatan Nabi Wajib Diikuti?

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam seperti manusia pada umumnya, menjalani rutinitas kehidupan layaknya orang lain. Beliau makan, minum, tidur, bekerja, melakukan perjalanan, menikah, memiliki anak dan lain sebagainya. Beliau juga melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, menjadi suri tauladan bagi umat manusia khususnya umat Islam. Setiap mukmin yang baik selalu berharap bisa meneladani akhlak beliau dalam kehidupan, bahkan ia berusaha meniru semua hal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah. Namun, apakah setiap perbuatan Nabi itu lantas menjadi syariat yang harus diikuti dan kemudian menjadi wajib atas umatnya? Bagaimana hukum fiqhnya tentang perbuatan Nabi tersebut? Inilah penjelasannya.
Perbuatan nabi, jika dimaksudkan sebagai penjelas dan perincian dari sebuah hukum wajib yang masih umum, seperti misalkan ucapan beliau :

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي (أَخْرَجَهُ البُخَارِي مِنْ حَدِيْثِ مِالِكٍ بْنِ الحُوَيْرِث)
sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku sholat”.

Dan beliaupun melakukan sholatnya, maka apakah semua perbuatan dalam sholat itu lantas menjadi wajib untuk diikuti?. (Ingat.. bahwa perintah yang datang dari Allah dan RasulNya mengandung makna wajib selama tidak ada faktor lain yang membuatnya turun menjadi tidak wajib).
Begitu juga misalnya Rasulullah bersabda :

 لِتَأْخُذُوْا مَنَاسِكَكُمْ (أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيْثِ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ الله)
dan hendaklah kalian mengambil )contoh dari( manasik  (yang aku lakukan)”

Dan beliau lantas melakukan manasik hajinya. Apakah perbuatan beliau dalam manasik itu wajib diikuti, Mengingat bahwa itu merupakan perintah?
mayoritas ulama ushul fiqh memandang bahwa penjelasan nabi melalui perbuatannya terbagi menjadi dua; wajib, seperti; rukuk dan sujud dalam sholat, dan Sunnah, seperti; mengangkat kedua tangan saat takbir, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan merapatkan kedua kaki saat sujud. Perbuatan nabi tidak serta merta menjadikan yang Sunnah sebagai yang wajib. Karena jika semua perbuatan beliau dihukumi wajib maka itu berarti apa yang sebenarnya Sunnah bagi Nabi berubah menjadi wajib bagi ummatnya, ini adalah perkara yang tidak tergambarkan oleh akal. Padahal hukum taklifi bagi Rasulullah itu lebih besar dari pada hukum taklifi bagi ummatnya. [1] sehingga bisa dikatakan bahwa semua perbuatan nabi jika dilakukan untuk menjelaskan/ merincikan sebuah hukum wajib yang masih umum seperti sholat, maka tidak semua bagian pekerjaan itu lantas menjadi wajib. Untuk mengetahui mana yang wajib dan tidaknya tidak diambil dari zat perbuatan tersebut melainkan dengan melihat dalil lainnya.
Adapun jika seseorang suka untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah, maka ini merupakan fadhilah. seperti seseorang yang duduk sebagaimana rasulullah duduk, maka ia insya Allah mendapatkan pahala dari rasa sukanya terhadap Rasulullah. bukan dari perbuatan tersebut.

 2.Istilah Fardhu dan Wajib

Istilah Fardhu bagi mayoritas ulama fiqh artinya wajib sedangkan ulama hanafiah membedakan istilah wajib dan fardhu, pembedaan itu bukan dari segi artinya. Melainkan dari sisi pendalilannya. Menurut mereka hukum wajib yang memiliki dalil yang qathi (sangat pasti) seperti Al-Quran dan Hadis mutawatir maka kewajiban tersebut dinamakan fardhu. Sedangkan jika sumber pendalilannya bersifat dzonniy (dibawah qathi), seperti hadis ahad yang shahih maka kewajiban tersebut dinamakan Wajib. Menurut mereka wajib lebih lemah kedudukannya dibandingkan fardhu.[2]
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas ulama fiqh sebelumnya. Karena kewajiban beramal dengan hadis ahad yang shohih merupakan sesuatu yang qathi juga. Dan insya Allah akan dijelaskan pada bab (pendalilan dari sunnah) nantinya. Faidah dari mengetahui perbedaan pendapat dalam kedua istilah ini adalah bagi orang yang ingin membaca kitab-kitab yang bermadzab hanafi, bagaimana mereka menjelaskan tentang sebuah status hukum wajib. Jika mereka mengatakan suatu hukum itu fardhu, berarti dalilnya adalah dalil qathi dari al-Quran atau hadis mutawatir, dan jika mereka mengatakan hukum sesuatu itu wajib maka berarti sumber pendalilannya bersifat dzanniy.

 3.  Penjelasan Kaidah مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Perkara yang menjadi pijakan sesuatu yang wajib atau muqaddimahnya, yang mana sebuah kewajiban itu berdiri perkara itu, memiliki tiga bentuk, yaitu:
1.       Perkara yang tidak berada di bawah kekuasaan manusia
Seperti terbenamnya matahari yang menjadi syarat wajibnya shalat maghrib, tidak bisa dilakukan kewajiban shalat magrib itu kecuali dengannya. Namun, perkara ini tidak di bawah kuasa manusia, sehingga ia tidak masuk kedalam kaidah yang kita sebutkan di atas.
2.       Perkara yang mampu dilakukan oleh manusia namun tidak diperintahkan untuk mencapainya.
Seperti, sampainya nishab untuk harta yang bisa dizakati atau mencari harta untuk keperluan haji. Manusia memiliki kemampuan untuk mengumpulkan harta sampai kepada nishab zakat, namun ia tidak diwajibkan untuk mengumpulkannya. Perkara ini juga tidak masuk kedalam kaidah di atas.
3.       Perkara yang mampu dilakukan oleh manusia dan diperintahkan untuk dilakukan.
Contohnya adalah bersuci sebelum shalat dan berjalan menuju shalat jumat. Kedua hal ini adalah sesuatu yang mampu dilakukan dan juga ia diperintahkan untuk melakukannya. Perkara seperti inilah yang masuk kedalam kaidah di atas.
                Pembagian di atas bukan berarti mewajibkan sesuatu yang tidak ada dalil kewajibannya, ianya hanya perkara-perkara yang menjadi muqaddimah bagi sesuatu yang wajib. Dan pada hakikatnya, perkara yang menjadi wajib pada bagian ketiga itu walaupun tidak ada dalil tentang pewajibannya, namun sebenarnya ada tersirat dalam dalil tentang wajibnya pekerjaan yang berkaitan dengannya. Dan ini akan dijelaskan pada bab (kaidah-kaidah pendalilan) dan (petunjuk nash).

4. Lafadz Wajib dalam Nash Al-Quran dan Sunnah Tidak Memiliki Makna Wajib Secara Istilah Fiqh.

Sehingga keliru orang yang mengatakan bahwa mandi hari jum’at adalah wajib dengan berdalil dari sabda Rasulullah:
غُسْلُ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ (متفق عليه)
“mandi pada hari jum’at adalah wajib (sunnah muakkadah. Pen) bagi setiap orang yang telah baligh”
Hadis ini menurut mereka menunjukkan tentang wajibnya mandi pada hari jumat bagi lelaki yang telah baligh, mereka mendasarkan hukum tersebut dengan adanya lafaz wajib dalam hadis tersebut. Namun, jika kita memperhatikan dalil-dalil lain yang memberikan tafsiran terhadap hukum mandi ini, kita dapati bahwa hukumnya tidaklah wajib, namun sunnah muakkadah. Adapun lafaz wajib dalam hadis ini menurut para ahli ilmu adalah :
 لِلتَّوْكِيْدِ فِي النَدَبِ
ini adalah untuk menguatkan makna sunnahnya”. Dan lafaz tersebut sama seperti ucapan seseorang :
 حَقُّكَ عَلَيَّ وَاجِبٌ
hakmu atasku adalah suatu keharusan”.
Demikian tulisan tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum wajib dalam ushul fiqh. Pada tulisan selanjutnya kita akan menjelaskan tentang pembagian wajib ditinjau dari beberapa sisi.



[1] Abdullah yusuf, taysir ilmi ushul al-fiqh, (t.t : Muassasah ar-rayyan), h.22
[2] Ibid.

Komentar

Postingan Terpopuler

Tsaqafah Islamiah, Pengertian Dan Pemahamannya (1)

Pengertian Tsaqafah Saat Berdiri Sendiri dan Saat Disandarkan Pada Kata Lain Hari ini kata tsaqafah banyak digunakan dalam berbagai bidang dan studi, baik itu berbicara, menulis, ceramah-ceramah maupun seminar-seminar, sehingga tidak jarang kita mendengar orang-orang mengatakan “sifulan orang yang memiliki tsaqafah” dan “sifulan tidak memiliki tsaqafah” dan lain sebagainya. Juga sering kita mendengar orang mengatakan tsaqafah islamiah dan tsaqafah barat, lantas apakah sebenarnya definisi tsaqafah itu?

Bentuk Ungkapan Bermakna Wajib dalam Ushul Fiqh (3)

Dalam ushul fiqh, hukum terbagi menjadi lima macam; wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pada tulisan ini, kita akan memaparkan lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang bentuk-bentuk ungkapan yang mengandung makna wajib dalam nash-nash Al-Quran dan Sunnah. Untuk melihat tulisan  sebelumnya kamu bisa mengunjungi  di sini 6. Diantara lafaz yang mengandung makna wajib dalam dalil-dalil syar’I, adalah lafaz “ له عليك فعل كذا ”. Makna kalimat tersebut secara letterlijk berarti “wajib atasmu untuknya melakukan ini atau itu”. Apa bila kita menemui dalam nash lafaz yang bentuknya seperti itu maka lafaz itu mengandung makna wajib pada asalnya,kecuali ada qarinah lain yang membuat maknanya menjadi selain itu. Contoh nash yang mengandung bentuk lafaz seperti itu adalah firman Allah : وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan...