Pada tulisan sebelumnya telah
dijelaskan tentang lafaz-lafaz dan ungkapan ungkapan yang mengandung makna
wajib. Jika anda ingin melihatnya kembali bisa klik di SINI. Pada tulisan kali
ini kita akan menjelaskan beberapa pekara yang masih berkaitan dengan hukum yang wajib dalam tinjauan ushul fiqh. Berikut penjelasannya:
1. Apakah Semua
Perbuatan Nabi Wajib Diikuti?
Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam seperti manusia pada umumnya, menjalani rutinitas
kehidupan layaknya orang lain. Beliau makan, minum, tidur, bekerja, melakukan
perjalanan, menikah, memiliki anak dan lain sebagainya. Beliau juga melakukan
aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, menjadi suri tauladan bagi umat manusia
khususnya umat Islam. Setiap mukmin yang baik selalu berharap bisa meneladani
akhlak beliau dalam kehidupan, bahkan ia berusaha meniru semua hal yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah. Namun, apakah setiap perbuatan Nabi itu lantas
menjadi syariat yang harus diikuti dan kemudian menjadi wajib atas umatnya?
Bagaimana hukum fiqhnya tentang perbuatan Nabi tersebut? Inilah penjelasannya.
Perbuatan nabi, jika dimaksudkan sebagai
penjelas dan perincian dari sebuah hukum wajib yang masih umum, seperti
misalkan ucapan beliau :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي
أُصَلِّي (أَخْرَجَهُ البُخَارِي مِنْ حَدِيْثِ مِالِكٍ بْنِ الحُوَيْرِث)
“sholatlah kalian sebagaimana kalian
melihatku sholat”.
Dan beliaupun
melakukan sholatnya, maka apakah semua perbuatan dalam sholat itu lantas
menjadi wajib untuk diikuti?. (Ingat.. bahwa perintah yang datang dari Allah
dan RasulNya mengandung makna wajib selama tidak ada faktor lain yang
membuatnya turun menjadi tidak wajib).
Begitu juga misalnya Rasulullah bersabda :
لِتَأْخُذُوْا
مَنَاسِكَكُمْ (أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيْثِ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ الله)
“dan hendaklah kalian mengambil )contoh dari( manasik (yang aku lakukan)”
Dan beliau
lantas melakukan manasik hajinya. Apakah perbuatan beliau dalam manasik itu
wajib diikuti, Mengingat bahwa itu merupakan perintah?
mayoritas ulama
ushul fiqh memandang bahwa penjelasan nabi melalui perbuatannya terbagi menjadi
dua; wajib, seperti; rukuk dan sujud dalam sholat, dan Sunnah,
seperti; mengangkat kedua tangan saat takbir, meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri dan merapatkan kedua kaki saat sujud. Perbuatan nabi tidak serta
merta menjadikan yang Sunnah sebagai yang wajib. Karena jika semua perbuatan
beliau dihukumi wajib maka itu berarti apa yang sebenarnya Sunnah bagi Nabi
berubah menjadi wajib bagi ummatnya, ini adalah perkara yang tidak tergambarkan
oleh akal. Padahal hukum taklifi bagi Rasulullah itu lebih besar dari pada
hukum taklifi bagi ummatnya. [1] sehingga bisa dikatakan bahwa semua
perbuatan nabi jika dilakukan untuk menjelaskan/ merincikan sebuah hukum wajib
yang masih umum seperti sholat, maka tidak semua bagian pekerjaan itu lantas
menjadi wajib. Untuk mengetahui mana yang wajib dan tidaknya tidak diambil dari
zat perbuatan tersebut melainkan dengan melihat dalil lainnya.
Adapun jika seseorang suka untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah, maka ini merupakan fadhilah. seperti seseorang yang duduk sebagaimana rasulullah duduk, maka ia insya Allah mendapatkan pahala dari rasa sukanya terhadap Rasulullah. bukan dari perbuatan tersebut.
Adapun jika seseorang suka untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah, maka ini merupakan fadhilah. seperti seseorang yang duduk sebagaimana rasulullah duduk, maka ia insya Allah mendapatkan pahala dari rasa sukanya terhadap Rasulullah. bukan dari perbuatan tersebut.
Istilah Fardhu bagi mayoritas ulama fiqh
artinya wajib sedangkan ulama hanafiah membedakan istilah wajib dan fardhu,
pembedaan itu bukan dari segi artinya. Melainkan dari sisi pendalilannya. Menurut
mereka hukum wajib yang memiliki dalil yang qathi (sangat pasti) seperti
Al-Quran dan Hadis mutawatir maka kewajiban tersebut dinamakan fardhu. Sedangkan
jika sumber pendalilannya bersifat dzonniy (dibawah qathi),
seperti hadis ahad yang shahih maka kewajiban tersebut dinamakan Wajib. Menurut
mereka wajib lebih lemah kedudukannya dibandingkan fardhu.[2]
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah
pendapat mayoritas ulama fiqh sebelumnya. Karena kewajiban beramal dengan hadis
ahad yang shohih merupakan sesuatu yang qathi juga. Dan insya Allah akan
dijelaskan pada bab (pendalilan dari sunnah) nantinya. Faidah dari mengetahui
perbedaan pendapat dalam kedua istilah ini adalah bagi orang yang ingin membaca
kitab-kitab yang bermadzab hanafi, bagaimana mereka menjelaskan tentang sebuah
status hukum wajib. Jika mereka mengatakan suatu hukum itu fardhu,
berarti dalilnya adalah dalil qathi dari al-Quran atau hadis mutawatir,
dan jika mereka mengatakan hukum sesuatu itu wajib maka berarti sumber
pendalilannya bersifat dzanniy.
Perkara yang menjadi pijakan sesuatu yang wajib
atau muqaddimahnya, yang mana sebuah kewajiban itu berdiri perkara itu,
memiliki tiga bentuk, yaitu:
1.
Perkara yang tidak berada di bawah kekuasaan
manusia
Seperti terbenamnya
matahari yang menjadi syarat wajibnya shalat maghrib, tidak bisa dilakukan
kewajiban shalat magrib itu kecuali dengannya. Namun, perkara ini tidak di
bawah kuasa manusia, sehingga ia tidak masuk kedalam kaidah yang kita sebutkan
di atas.
2.
Perkara yang mampu dilakukan oleh manusia namun tidak
diperintahkan untuk mencapainya.
Seperti,
sampainya nishab untuk harta yang bisa dizakati atau mencari harta untuk
keperluan haji. Manusia memiliki kemampuan untuk mengumpulkan harta sampai
kepada nishab zakat, namun ia tidak diwajibkan untuk mengumpulkannya. Perkara ini
juga tidak masuk kedalam kaidah di atas.
3.
Perkara yang mampu dilakukan oleh manusia dan diperintahkan
untuk dilakukan.
Contohnya adalah
bersuci sebelum shalat dan berjalan menuju shalat jumat. Kedua hal ini adalah
sesuatu yang mampu dilakukan dan juga ia diperintahkan untuk melakukannya. Perkara
seperti inilah yang masuk kedalam kaidah di atas.
Pembagian di atas
bukan berarti mewajibkan sesuatu yang tidak ada dalil kewajibannya, ianya hanya
perkara-perkara yang menjadi muqaddimah bagi sesuatu yang wajib. Dan pada
hakikatnya, perkara yang menjadi wajib pada bagian ketiga itu walaupun tidak
ada dalil tentang pewajibannya, namun sebenarnya ada tersirat dalam dalil
tentang wajibnya pekerjaan yang berkaitan dengannya. Dan ini akan dijelaskan
pada bab (kaidah-kaidah pendalilan) dan (petunjuk nash).
4. Lafadz Wajib dalam Nash Al-Quran dan Sunnah Tidak
Memiliki Makna Wajib Secara Istilah Fiqh.
Sehingga keliru orang yang mengatakan bahwa mandi
hari jum’at adalah wajib dengan berdalil dari sabda Rasulullah:
غُسْلُ يَوْمَ الجُمُعَةِ
وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ (متفق عليه)
“mandi pada hari jum’at adalah wajib (sunnah muakkadah. Pen)
bagi setiap orang yang telah baligh”
Hadis ini menurut mereka menunjukkan tentang
wajibnya mandi pada hari jumat bagi lelaki yang telah baligh, mereka mendasarkan
hukum tersebut dengan adanya lafaz wajib dalam hadis tersebut. Namun,
jika kita memperhatikan dalil-dalil lain yang memberikan tafsiran terhadap
hukum mandi ini, kita dapati bahwa hukumnya tidaklah wajib, namun sunnah
muakkadah. Adapun lafaz wajib dalam hadis ini menurut para ahli ilmu
adalah :
لِلتَّوْكِيْدِ
فِي النَدَبِ
“ini adalah untuk menguatkan makna sunnahnya”. Dan lafaz
tersebut sama seperti ucapan seseorang :
حَقُّكَ
عَلَيَّ وَاجِبٌ
“hakmu atasku adalah suatu keharusan”.
Demikian tulisan tentang perkara-perkara yang berkaitan
dengan hukum wajib dalam ushul fiqh. Pada tulisan selanjutnya kita akan
menjelaskan tentang pembagian wajib ditinjau dari beberapa sisi.
Komentar